Tugas Penilaian
Hutan Medan, Oktober 2019
MANFAAT
HASIL HUTAN BUKAN KAYU POHON TENGKAWANG
Dosen Penanggung
Jawab
Dr. Agus Purwoko, S.
Hut., M.Si.
Disusun Oleh :
Zetro Simamora 171201132
MNH 5
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS
KEHUTANAN
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Kehutanan memandang sumber daya hutan
mempunyai potensi multi fungsi yang dapat memberikan manfaat ekonomi,
lingkungan dan sosial bagi kesejahteraan umat manusia. Sumber daya hutan juga
bersifat multi guna dan memuat multi kepentingan serta pemanfaatannya diarahkan
untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Manfaat tersebut bukan
hanya berasal dari Hasil Hutan Kayu yang hanya memberikan sumbangan 20%,
melainkan juga manfaat hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan
(pemanfaatan aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan
keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan), yang memberikan
sumbangan terbesar yakni 80 %, namun hingga saat ini potensi HHBK tersebut
belum dapat dimanfaatkan secara optimal (Anonim, 2009). Paradigma ini makin
menyadarkan kita bahwa produk HHBK merupakan salah satu sumber daya hutan yang
memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinggungan dengan masyarakat
sekitar hutan. HHBK terbukti dapat memberikan dampak pada peningkatan
penghasilan masyarakat sekitar hutan dan memberikan kontribusi yang berarti
bagi penambahan devisa negara (
Sianturi, 2003).
Selama
ini HHBK hampir tidak tersentuh dalam kegiatan kehutanan yang masih
mengandalkan hasil hutan kayu baik dari hutan alam maupun dari hutan tanaman.
Padahal potensi pemanfaatan yang bernilai ekonomis sangat besar yang perlu
digali dan pengelolaan perlu dioptimalkan (Suharisno, 2009). Pemanfaatan HHBK
pada umumnya masih bersifat tradisional dan masih menghadapi banyak kendala
pengembangannya baik pada aspek budidaya, skala ekonomi, penanganan pasca
panen, pengolahannya sederhana, rendahnya daya saing, kualitas produk serta
pemasaran lokal Pemungutan HHBK lebih banyak dilakukan secara manual
(non-mekanis) yang tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Pemanfaatan
HHBK umumnya dilakukan oleh masyarakat dan mempunyai peranan ekonomis langsung
kepada masyarakat. Oleh karena
itu produk hasil hutan bukan kayu perlu ditingkatkan untuk mengurangi
penebangan di hutan dan meningkatkan perekonomian masyarakat dari sektor HHNK.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
mengetahui pentingnya mengolah dan memanfaatkan produk hasil hutan bukan kayu
untuk mengurangi pemakaian kayu dan untuk menunjang perekonomian masyarakat
Indonesia.
BAB II
PENDAHULUAN
Berdasarkan
Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan lindung didefinisikan
sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Namun
demikian, pada saat ini fungsi pokok tersebut terancam keberlangsungannya
sebagai akibat terjadinya degradasi hutan lindung. Rata-rata degradasi hutan
berdasarkan data Kementerian Kehutanan yang diakibatkan oleh adanya pembalakan
liar pada tahun 2010 mencapai 0,626 juta hektar per tahun (BAPPENAS, 2010).
Secara umum, penyebab degradasi hutan termasuk hutan lindung, dapat berupa
penyebab langsung dan tidak langsung. Pembalakan liar merupakan salah satu
penyebab langsung selain perambahan hutan dan kebakaran hutan. Penyebab tidak
langsung diantaranya kondisi sosial, ekonomi bahkan politik yang menjadi pemicu
timbulnya tekanan penduduk terhadap kawasan hutan. Oleh sebab itu, upaya
rehabilitasi hutan lindung untuk mengembalikan dan mempertahankan fungsi
ekologisnya sangat diperlukan.
Untuk pemilihan jenis, maka jenis penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
merupakan pilihan yang paling logis, karena di kawasan hutan lindung
pemanfaatan kayu tidak diperbolehkan. Hasil analisis kesesuaian jenis di lokasi
yang akan direhabilitasi merupakan pertimbangan utama dalam pemilihan jenis
HHBK. Namun demikian, jenis yang akan dikembangkan dalam rangka rehabilitasi
hutan lindung hendaknya mempunyai nilai lebih lainnya, misalnya mempunyai
potensi untuk mencegah erosi dan longsor. Parameter yang dapat digunakan dalam
hal tersebut salah satunya adalah sistem perakaran (Weichang, 2000).
HHBK yang berasal dari
kawasan hutan dibedakan menjadi: (a) HHBK yang berasal dari hutan lindung dan
dikenal dengan nama pemungutan terdapat pada pasal 28, (b) HHBK yang berasal
dari hutan produksi baik hutan alam maupun hutan tanaman dikenal dengan istilah
pemanfaatan, terdapat dalam pasal 43. Pemungutan HHBK yang berasal dari hutan lindung
antara lain berupa: rotan, madu, getah, buah, jamur, sarang burung walet dan
penangkaran satwa liar. Sedangkan hasil HHBK dari hutan produksi antara lain
(1) Rotan, sagu, nipah, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, dan
pemasaran hasil; (2) Getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang
meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran
hasil. Tiga dari lima sasaran pokok dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) Kehutanan 2010-2025 yang menaungi pengembangan pemanfaatan HHBK meliputi
(1)
peningkatan produktivitas dan nilai sumberdaya hutan yang berkelanjutan,(2) produk barang dan jasa yang ramah lingkungan, kompetitif dan bernilai tambah tinggi, dan (3) Kesejahteraan dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan acuan dalam pengembangan HHBK. Lebih lanjut Roadmap Litbang Kehutanan 2010-2025(Anonim, 2009c) mengemukakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam penelitian HHBK adalah masih terbatasnya pemanfaatan sebagai sumber ekonomi masyarakat dan penerimaan Negara, nilai tambah dan daya saing, evaluasi dan kelayakan usaha, ketersediaan serta akses teknologi pengolahan yang memadai. Di samping itu, HHBK unggulan daerah belum tersedia dan tercatat dengan baik. Secara global, HHBK diketegorikan menjadi HHBK FEM (Food, Energy dan Medicine) dan HHBK lainnya. HHBK FEM adalah HHBK yang secara umum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber pangan (sagu dan sukun), energi ( kayu bakar, arang dan biofuel yang bersumber dari lignoselulosa) dan obat-obatan termasuk kosmetika (biofarmaka). Sedangkan HHBK lainnya umumnya selain dari kategori tersebut (gaharu, cendana dan minyak atsiri).
peningkatan produktivitas dan nilai sumberdaya hutan yang berkelanjutan,(2) produk barang dan jasa yang ramah lingkungan, kompetitif dan bernilai tambah tinggi, dan (3) Kesejahteraan dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan acuan dalam pengembangan HHBK. Lebih lanjut Roadmap Litbang Kehutanan 2010-2025(Anonim, 2009c) mengemukakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam penelitian HHBK adalah masih terbatasnya pemanfaatan sebagai sumber ekonomi masyarakat dan penerimaan Negara, nilai tambah dan daya saing, evaluasi dan kelayakan usaha, ketersediaan serta akses teknologi pengolahan yang memadai. Di samping itu, HHBK unggulan daerah belum tersedia dan tercatat dengan baik. Secara global, HHBK diketegorikan menjadi HHBK FEM (Food, Energy dan Medicine) dan HHBK lainnya. HHBK FEM adalah HHBK yang secara umum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber pangan (sagu dan sukun), energi ( kayu bakar, arang dan biofuel yang bersumber dari lignoselulosa) dan obat-obatan termasuk kosmetika (biofarmaka). Sedangkan HHBK lainnya umumnya selain dari kategori tersebut (gaharu, cendana dan minyak atsiri).
BAB III
PEMBAHASAN
Kingdom:
|
|
(tanpa takson):
|
|
(tanpa takson):
|
|
(tanpa takson):
|
|
Ordo:
|
|
Famili:
|
|
Genus:
|
|
Spesies:
|
S. macrophylla
|
Pohon tengkawang di
Indonesia sebagian besar tersebar di wilayah Kalimantan dan sebagian kecil
Sumatera (anonymous-indonesiaforest). Distribusi persebaran tengakwang
dipengaruhi oleh jenis tanah, kondisi iklim, dan ketinggian tempat
(Purwaningsih, 2004). Menurut Istomo
dan Hidayati (2010), tengkawang tumbuh dalam hutan hujan tropis dengan tipe
curah hujan A dan B.
Jenis ini tumbuh pada tanah latosol, podsolik merah kuning dan podsolik kuning
pada ketinggian sampai 1300 meter dari permukaan laut. Di Indonesia, jenis
Dipterocarp tidak mampu tumbuh pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl. Semakin
tinggi altitudenya semakin sedikit diketemukan jenis Dipterocarp, bahkan pada
ketinggian >1500 m dpl di Indonesia tidak diketemukan jenis yang termasuk
famili Dipterocarpaceae (Purwaningsih, 2004). Sebagian besar jenis Dipterocarp
tumbuh di daerah lereng dan punggung bukit, tumbuh sebagai pohon menjulang
(emergent trees) dengan tinggi mencapai 50 m (strata A) (Wahyudi dkk., 2010).
Manfaat Pohon Tengkawang
Tengkawang sangat
bermanfaat untuk meningkatkan perekonomian masyarakat terutama masyarakatdi
sekitar hutan. Kayu dari jenisjenis ini bisa dimanfaatkan untuk pertukangan
maupun plywood . Diketahui bahwa jenis kayu dari famili Dipterocarpaceae
merupakan jenis kayu bernilai ekonomi tinggi. Bagian lain dari pohon seperti
buah/ biji dan kulit juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan maupun
kerajinan tangan). Selain itu, buah tengkawang merupakan bahan baku lemak
nabati yang berharga lebih tinggi dibanding minyak nabati lain seperti minyak
kelapa Keistimewaan minyak tengkawang adalah sifat titik cairnya yang tinggi,
yaitu rata-rata 30ºC, sehingga cocok untuk pembuatan margarine, coklat, sabun,
lipstik, obat-obatan, lilin, dan lain-lain .
Biji tengkawang merupakan salah satu
komoditi ekspor. Pada periode tahun 1985 – 1989, ekspor tengkawang Indonesia
telah menghasilkan devisa sebesar US$ 7.439.167,75; yang berasal dari biji
tengkawang sebanyak 10.677,01 ton, nilai ini belum termasuk nilai jual bungkil
tengkawang (BPS, 1989 dalam Winarni, et al., 2004). Hampir seluruh ekspor
tengkawang berasal dari Kalimantan, terutama Kalimantan Barat dan sebagian
kecil Kalimantan Timur, Selatan, dan Tengah.
Adanya nilai ekonomi tengkawang yang
cukup menjanjikan, ternyata tidak diiringi dengan upaya konservasi dan
penanaman kembali.Saat ini keberadaan tengkawang menjadi terancam dengan
semakin minimnya permudaan alam. Data IUCN (International Union for
Conservation of Nature) Red List Categories of Threatened Species tahun 2014,
telah memasukkan beberapa jenis tengkawang ke dalam jenis-jenis yang
dilindungi. S. macrophylla termasuk dalam kategori yang sedang menghadapi resiko
tinggi terhadap kepunahan di alam (Vulnerable) A1cd, S. macrantha termasuk
dalam kategori yang menghadapi resiko amat sangat tinggi tehadap kepunahan di
alam (Critically Endangered) A1cdC2a, begitu juga dengan S. palembanica, S.
sumatrana, S. lepidota dan S. seminis berada dalam status (Critically
Endangered) A1cd, sedangkan S. stenoptera dan S. splendida termasuk dalam
kategori yang menghadapi resiko sangat tinggi terhadap kepunahan di alam
(Endangered) A1cd. Melihat kondisi di atas, maka usaha penyelamatan jenis
tengkawang perlu untuk dilakukan. Upaya penyelamatan telah banyak dilakukan
oleh berbagai pihak termasuk Kementerian Kehutanan melalui Badan Litbang
Kehutanan dimana Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman
Hutan Yogyakarta termasuk di dalamnya. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta memulai upaya penyelamatan melalui
pembangunan areal konservasi ex-situ jenis-jenis tengkawang seluas 3,5 hektar
di Tahura Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah. Selain itu, adanya peralihan
cara berpikir pemanfaatan tengkawang menjadi tidak hanya pemanfaatan kayunya
saja tetapi juga tengkawang sebagai produk HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) akan
sangat mendukung usaha penyelamatannya.
BAB IV
KESIMPULAN
Tengkawang, salah satu tanaman endemik khas Indonesia dengan
berbagai manfaat. Tengkawang merupakan ragam flora yang tumbuh di hutan
belantara Kalimantan. Sejak 1881, tanaman yang termasuk dalam famili Dipterocarpaceae ini
mulai dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Pohon ini termasuk dalam genus
Shorea atau meranti yang membuat ponon Tengkawang ini mempunyai nilai ekonomis
yang baik dalam menghasilkan minyak nabati. Biji
meranti merah ini dalam bahasa Inggris disebut Borneo tallow nut,
yang dapat diolah untuk menghasilkan minyak nabati guna proses memasak. Bagian
pohon yang lain dari tanaman ini bisa menjadi hal yang serbaguna, seperti bahan
pembuatan makanan,
Coklat, pelumas, obat tradisional, lilin, dan kosmetik. Nilai Manfaat Tengkawang (Shorea spp) di
Kecamatan Embaloh Hilir Kabupaten Kapuas Hulu mulai dari buah, batang, hingga
damar atau getah, tengkawang (Shorea spp) memiliki konstribusi cukup tinggi
terhadap pendapatan total rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Sianturi, S., 2003. Analisa Pendapatan
Masyarakat Pemungut Hasil Hutan Tembawang di Desa Caokng Kecamatan Mempawah
Hulu Kabupaten Landak, Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Wahyudi, A., Saridan, A., & Rombe R.
(2010). Sebaran dan Asosiasi Jenis Pohon Penghasil Tengkawang (Shorea spp.) di
Kalimantan Barat. Kementerian Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan, Balai Besar
Penelitian Dipterokarpa. Samarinda.
Weichang, Li dan He Pikun (ed).2000.
Social Forestry Theories and Practice. Yunnan: Yunnan Nationality Press.
Mantul
BalasHapusNice info
BalasHapusKeren
BalasHapusInfo yang sangat bermanfaat
BalasHapusGokill infonya
BalasHapusMakasih atas infonya
BalasHapusMenambah wawasan��
BalasHapusMantul bang
BalasHapusBermanfaat banget bang
BalasHapusSangat menginspirasi bang di tunggu blog selanjutnya
BalasHapusSangat membantu bang, terima kasih bang.
BalasHapusIsinya membantu sekali bangg
BalasHapusInfonya Bermanfaat, Menambah wawasan tentang HHBK 👍👍
BalasHapusKeren kali bangda
BalasHapusSangat Informatif sekali di tunggu hal hal baru dari laman ini
BalasHapusMakasih infonya bang
BalasHapus